Kamis, 11 September 2014

tugas kepemimpinan pembelajaran

PRAKTIK KEPEMIMPINAN PEMBELAJARAN PADA SEKOLAH SMA DI SMA NEGERI 1 SUMBERLAWANG TRI WAHYUNINGTYAS Q100130063 ABSTRAK Kepemimpinan merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Banyak model kepemimpinan yang dapat dianut dan diterapkan dalam bebagai organisasi/institusi, baik profit maupun non profit, namun model kepemimpinan yang dipandang cocok untuk diterapkan di sekolah adalah kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership or leadership for improved learning). Sebagai pemimpin pembelajaran diharapkan kepala sekolah memfokuskan kepemimpinannya untuk menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik. Kepemimpinan pembelajaran sangat cocok diterapkan di sekolah karena misi utama sekolah adalah mendidik semua siswa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk menjadi orang dewasa yang sukses dalam menghadapi masa depan yang belum diketahui dan yang sarat dengan tantangan-tantangan yang sangat turbulen. Misi inilah yang kemudian menuntut sekolah sebagai organisasi harus memfokuskan pada pembelajaran (learning-focused schools), yang meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar (asessment). SMA Negeri 1 Sumberlawang merupakan salah satu SMA Negeri yang ada diwilayah Kabupaten Sragen Kecamatan Sumberlawang, berlokasi di Jln. Raya Solo-Purwodadi Km. 27 Sumberlawang Sragen, Kabupaten Sragen. Visi yaitu berakhlak mulia berbudi pekerti luhur dan berprestasi. Misi yaitu meningkatkan mutu pendidikan yang berkualitas sesuai dengan era global perkembangan Iptek dan Imtaq; meningkatkan prestasi di bidang ekstrakurikuler sesuai dengan kebutuhan masyarakat; meningkatkan program pendidikan yang senantiasa berakar pada agama, adat istiadat, kebudayaan bangsa, berbudi luhur, beraklak mulia dan berwibawa; meningkatkan pelaksanaan pembelajaran dan bimbingan konseling kepada siswa secara efektif dan efisien sehingga memperoleh hasil yang maksimal; menumbuhkan semangat kepada seluruh warga sekolah guna meningkatkan etos belajar dan kerja; menumbuhkan penghayatan terhadap agama yang dianut dan adat istiadat, kebudayaan bangsa sehingga dapat menjadi sumber kearifan sebagai acuan dalam bersikap bertindak dan bertingkahlaku; menumbuh kembangkan upaya kewirausahaan sesuai bakat minat dan ketrampilan menuju warga sekolah yang sejahtera; mengadakan kelengkapan sarana dan prasarana fisik sekolah sehingga dapat dipakai sebagai acuan kondisi yang konduksif dan nyaman dalam kegiatan pembelajaran di sekolah; dan menghasilkan lulusan yang berprestasi, sehingga mampu bersaing pada pendidikan/perguruan tinggi dan dunia kerja. Kata Kunci: Kepemimpinan Pembelajaran, SMA Negeri 1 Sumberlawang BAB I PENDALUHUAN A. Latar Belakang Kepemimpinan merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Banyak model kepemimpinan yang dapat dianut dan diterapkan dalam bebagai organisasi/institusi, baik profit maupun non profit, namun model kepemimpinan yang dipandang cocok untuk diterapkan di sekolah adalah kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership or leadership for improved learning). Sebagai pemimpin pembelajaran diharapkan kepala sekolah memfokuskan kepemimpinannya untuk menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik. Kepemimpinan pembelajaran sangat cocok diterapkan di sekolah karena misi utama sekolah adalah mendidik semua siswa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk menjadi orang dewasa yang sukses dalam menghadapi masa depan yang belum diketahui dan yang sarat dengan tantangan-tantangan yang sangat turbulen. Misi inilah yang kemudian menuntut sekolah sebagai organisasi harus memfokuskan pada pembelajaran (learning-focused schools), yang meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar (asessment). B. Permasalahan Berdasarkan dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa arti dan pentingnya kepemimpinan pembelajaran? 2. Apa saja faktor-faktor yang efektif berpengaruh terhadap organisasi pembelajar? 3. Bagaimana butir-butir Penting Kepemimpinan Pembelajaran? 4. Bagaimana kontribusi Kepemimpinan Pembelajaran terhadap Hasil Belajar? 5. Bagaimana Kompetensi Pemimpin Pembelajaran? 6. Bagaimana Standar Kepemimpinan Pembelajaran? BAB II HASIL LAPORAN Pada tanggal tanggal 27 September 2004 Bapak Gubernur Jawa Tengah, Bapak Mardiyanto meresmikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diberi nama SMA Negeri 1 Sumberlawang. SMA Negeri 1 Sumberlawang merupakan salah satu SMA Negeri yang ada diwilayah Kabupaten Sragen Kecamatan Sumberlawang, berlokasi di Jln. Raya Solo-Purwodadi Km. 27 Sumberlawang Sragen, Kabupaten Sragen. Visi yaitu berakhlak mulia berbudi pekerti luhur dan berprestasi. Misi yaitu meningkatkan mutu pendidikan yang berkualitas sesuai dengan era global perkembangan Iptek dan Imtaq; meningkatkan prestasi di bidang ekstrakurikuler sesuai dengan kebutuhan masyarakat; meningkatkan program pendidikan yang senantiasa berakar pada agama, adat istiadat, kebudayaan bangsa, berbudi luhur, beraklak mulia dan berwibawa; meningkatkan pelaksanaan pembelajaran dan bimbingan konseling kepada siswa secara efektif dan efisien sehingga memperoleh hasil yang maksimal; menumbuhkan semangat kepada seluruh warga sekolah guna meningkatkan etos belajar dan kerja; menumbuhkan penghayatan terhadap agama yang dianut dan adat istiadat, kebudayaan bangsa sehingga dapat menjadi sumber kearifan sebagai acuan dalam bersikap bertindak dan bertingkahlaku; menumbuh kembangkan upaya kewirausahaan sesuai bakat minat dan ketrampilan menuju warga sekolah yang sejahtera; mengadakan kelengkapan sarana dan prasarana fisik sekolah sehingga dapat dipakai sebagai acuan kondisi yang konduksif dan nyaman dalam kegiatan pembelajaran di sekolah; dan menghasilkan lulusan yang berprestasi, sehingga mampu bersaing pada pendidikan/perguruan tinggi dan dunia kerja. Mulai tahun pelajaran 2007/2008 kelas X menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP). SMA Negeri 1 Sumberlawang mulai tahun pelajaran 2009/2010 dipercaya untuk melaksanakan RINTISAN SEKOLAH KATEGORI MANDIRI (RSKM), sampai sekarang telah mencapai pada tahun ke tiga, perubahan mendasar pada pelaksanaan pembelajaran RSKM ini antara lain 1. Menggunakan Kurikulum KTSP 2. Menerapkan sistem Moving Class (siswa berpidah kelas sesuai dengan jadwal mata pelajaran) 3. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah 75 4. Pembelajaran berbasis ICT Untuk meningkatkan kualitas peserta didik, diberikan program pengayaan dan komputer yang pelaksanaannya pada sore hari mulai pukul 14.00 hingga pukul 16.30. Untuk pengayaan materi pelajaran, serta pelatihan soal-soal guna memantapkan persiapan dalam menghadapi Ulangan semester, Ujian Nasional, maupun tes masuk Perguruan Tinggi diberikan untuk siswa kelas XI dan XII. Satu minggu dua kali yaitu Senin, Rabu untuk kelas XI, dan Selasa, Kamis untuk kelas XII dua mata pelajaran tiap pertemuan/hari atau 4 mapel dalam satu minggu. Mapel yang diberikan adalah mapel yang masuk Ujian Nasional dengan memperhatikan permintaan siswa. Ekstra Komputer diberikan untuk Kelas X, sekali dalam satu minggu @pertemuan 75 menit. Diawal diberikan materi tentang INTERNET dengan maksud anak-anak seawal mungkin mengerti tentang bagaimana memanfaatkan internet untuk mencari informasi dan sumber belajar. Bahasa pemrograman Pascal diberikan untuk meningkatkan logika berfikir siswa, selain berguna untuk persiapan menghadapi lomba/ olimpiade komputer. Kegiatan Pengembangan Diri (pada KTSP) diarahkan untuk pengembangan karakter peserta didik yang ditujukan untuk mengatasi persoalan dirinya serta mengembangkan bakat yang dimilikinya. Kegiatan ini meliputi bimbingan Konseling dan kegiatan ekstra kurikuler seperti Olahraga, Pramuka/PMR, kelompok KIR, Paskibra, Kepecinta alaman dan sebagainya. BAB III PEMBAHASAN A. Arti dan Pentingnya Kepemimpinan Pembelajaran 1. Arti Kepemimpinan Pembelajaran Kepemimpinan pembelajaran atau kepemimpinan instruksional adalah kepemimpinan yang memfokuskan/menekankan pada pembelajaran yang komponen-komponennya meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, asesmen (penilaian hasil belajar), penilaian serta pengembangan guru, layanan prima dalam pembelajaran, dan pembangunan komunitas belajar di sekolah. 2. Pentingnya Kepemimpinan Pembelajaran Kepemimpinan pembelajaran penting diterapkan di sekolah karena kemampuannya dalam membangun komunitas belajar warganya dan bahkan mampu menjadikan sekolahnya sebagai sekolah belajar (learning school) memiliki perilaku-perilaku sebagai berikut memberdayakan warga sekolah seoptimal mungkin, memfasilitasi warga sekolah untuk belajar terus dan belajar ulang, mendorong kemandirian setiap warga sekolahnya, memberi kewenangan dan tanggungjawab kepada warga sekolahnya, mendorong warga sekolah untuk akuntabilitas terhadap proses dan hasil kerjanya, mendorong teamwork yang (kompak, cerdas, dinamis, harmonis, dan lincah/cepat tanggap terhadap pelanggan utama yaitu siswa), mengajak warga sekolahnya untuk menjadikan sekolahnya berfokus pada layanan siswa, mengajak warga sekolahnya untuk siap dan akrab menghadapi perubahan, mengajak warga sekolahnya untuk berpikir sistem, mengajak warga sekolahnya untuk komitmen terhadap keunggulan mutu, dan mengajak warga sekolahnya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus. B. Faktor-faktor yang efektif berpengaruh terhadap organisasi pembelajaran Menurut Marquardt (2002) ada beberapa faktor kekuatan yang mempengaruhi perubahan organisasi pembelajaran, yaitu: (1) globalisasi dan ekonomi gelobal, (2) Teknologi, (3) transformasi radical dalam dunia kerja, (4) pengaruh peningkatan pengguna, (5) Munculnya pengetahuan dan pembelajaran sebagai aset utama organisasi, (6) mengubah peran dan harapan pekerja, (7) keragaman tempat kerja dan mobilitas, dan (8) meningkat cepat perubahan dan kekacauan. C. Butir-butir Penting Kepemimpinan Pembelajaran Butir-butir penting kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dapat dituliskan sebagai berikut 1. Memahami peran kepala sekolah yang perlu dikembangkan: a. mengelola adalah sebagian dari kepemimpinan, b. menerapkan peran kepemimpinan sekolah lebih cenderung sebagai pelayan dari pada sebagai penguasa/bos, dan c. mengembangkan gaya kepemimpinan yang luwes dan gaya bicara yang enak, dan menghindari gaya kepemimpinan yang kaku. 2. Melaksanakan tanggung jawab secara akuntabel: a. membangun komunitas belajar di sekolah untuk kesuksesan siswa, b. mendorong tanggung jawab seluruh mitra kerja atau pemangku kepentingan, c. menggalang sumber daya masyarakat untuk kepentingan siswa, d. membantu siswa agar sukses dalam belajarnya, dan e. menghindari mencari kambing hitam atas ketidaksuksesan, berpikir dan berperilaku positif untuk maju. 3. Mengerjakan sesuatu dengan professional: a. selalu membaca diri dan melakukan refleksi, b. mencari cara-cara untuk mengembangkan diri sendiri, membimbing orang lain dan memberi kontribusi terhadap orang lain berdasarkan profesi yang dimiliki, c. merangkul perubahan sebagai teman, dia akan membuat anda tetap aktif, mawas diri dan berkembang, d. menjadi orang nomor satu sebagai model pembelajar sepanjang hayat dengan membangun masyarakat pembelajar disekolah, e. selalu mengasah peran anda sebagai kepemimimpinan pembelajaran f. menyediakan waktu untuk rajin mengunjungi kelas, g. mengkomunikasikan keinginan kuat anda untuk berhasil kepada guru dan siswa dalam bentuk kata-kata dan tindakan, h. menerjemahkan visi sekolah ke dalam kegiatan harian, dan i. memfasilitasi kelompok kerja berdasarkan kepemimpinan pembelajaran. 4. Selalu mempertahankan: a. menjadi pengarah terhadap tercapainya tujuan sekolah, b. menjadi pendukung yang jelas, c. memandang kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar, dan d. gembira dalam bekerja. D. Kontribusi Kepemimpinan Pembelajaran terhadap Hasil Belajar Menurut sintesis penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa perilaku kepala sekolah (pemimpin pembelajaran), guru, dan staf memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap peningkatan efektivitas pembelajaran di sekolah, yang meliputi hal-hal berikut meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa semua siswa dapat belajar dan sekolah membuat perbedaan antara yang berhasil dan yang gagal; menegaskan bahwa belajar sebagai alasan utama terhadap keberadaan seseorang disekolah, termasuk penekanan terhadap penting dan berharganya pencapaian yang tinggi terhadap kemampuan berbicara dan menulis; memiliki pemahaman yang jelas terhadap visi dan misi sekolah dan mampu menyatakannya secara langsung, dalam ungkapan yang konkrit, membangun dan memfokuskan pembelajaran sebagai sumber penyatuan berpikir, sikap, dan tindakan warga sekolah; mencari, merekrut, dan menggaji anggota staf yang mendukung visi dan misi sekolah dan berkontribusi terhadap keefektifannya; mengetahui dan mampu menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran yang baik; menyebarluaskan praktik-praktik proses belajar mengajar yang efektif terhadap guru-guru lain; mengetahui tentang penelitian pendidikan, menekankan pentingnya penelitian bagi perbaikan sekolah, urun rembuk, dan menerapkannya dalam pemecahan masalah; mencari program-program yang inovatif, amati, dan libatkan staf untuk berpartisipasi dalam mengadopsi dam mengadaptasi program tersebut; tetapkan harapan atau target kualitas kurikulum melalui penggunaan standar dan petunjuk-petunjuk yang diberikan, cek secara berkala kesesuaian, kurikulum dengan pembelajaran dan penilaian, tetapkan kegiatan kurikulum yang diprioritaskan, dan monitor pelaksanaan kurikulum; cek kemajuan siswa secara berkala berdasarkan data kinerja yang ada, dan publikasikan kepada para guru agar mereka dapat melihat kesenjangan antara standar yang telah ditetapkan dengan kinerja yang dicapai oleh siswa; milikilah harapan yang tinggi terhadap seluruh guru untuk melaksanakan pembelajaran dengan standar yang tinggi melalui kesepakatan model yang dibuat bersama oleh guru, lakukan kunjungan kelas untuk mengamati pembelajaran, fokuskan kegiatan supervisi untuk meningkatkan pembelajaran, dan persiapkan serta monitor kegiatan-kegiatan pengembangan guru; dan komunikasikan harapan anda bahwa program pembelajaran yang telah disepakati sesuai dengan rencana, strategi peningkatan yang sistematis, prioritas kegiatan yang jelas, dan pendekatan-pendekatan baru, harus dilaksanakan dengan baik. E. Standar Kepemimpinan Pembelajaran Standar kepemimpinan pembelajaran berdasarkan hasil-hasil penelitian maupun hasil-hasil kesepakatan para akademisi dan para praktisi kepemimpinan pembelajaran yaitu Standar A: Peningkatan secara berkelanjutan adalah melaksanakan pendekatan yang sistematik dan koheren untuk menuju peningkatan secara berkelanjutan dalam prestasi akademik seluruh siswa. Standar B: Kultur Pembelajaran adalah menciptakan kultur pembelajaran yang progresif/kondusif di sekolahnya agar hasil belajar siswa dapat ditingkatkan setinggi-tingginya. Standar C: Kepemimpinan Pembelajaran dan Penilaian Hasil Belajar adalah memfasilitasi peningkatan mutu pembelajaran di sekolahnya berdasarkan hasil evaluasi dan dilakukan secara terus menerus dalam rangka untuk meningkatkan hasil belajar siswa seoptimal mungkin. Standar D: Pengembangan Profesionalisme Guru secara Terus Menerus adalah melakukan pengembangan profesionalisme warga sekolahnya terutama guru yang dilakukan secara terus-menerus dalam rangka untuk meningkatkan hasil belajar siswa seoptimal mungkin. Standar E: Manajemen Sekolah adalah memfasilitasi warga sekolah (guru, siswa, karyawan) agar menjadi pebelajar yang baik dan mengembangkan pembelajaran yang efektif melalui pemanfaatan berbagai sumber belajar yang tersedia dan yang perlu disediakan jika belum ada. Standar F: Etika adalah memfasilitasi peningkatan secara berkelanjutan dalam meningkatkan keberhasilan belajar siswa melalui proses pembelajaran yang sesuai dengan standar etika paling tinggi dan mendorong pendampingan berupa tindakan politis apabila diperlukan. Standar G: Perbedaan adalah memfasilitasi toleransi terhadap perbedaan latar belakang siswa, baik dari suku, agama, ras, jenis kelamin, dan asal usul. F. Kompetensi Pemimpin Pembelajaran Kompetensi adalah kemampuan melakukan sesuatu yang dimensi-dimensinya meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Seperangkat kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran adalah sebagai berikut merumuskan dan mengartikulasikan tujuan pembelajaran; mengarahkan dan membimbing pengembangan kurikulum; membimbing pengembangan dan perbaikan proses belajar mengajar (PBM); mengevaluasi kinerja guru dan mengembangannya; membangun komunitas pembelajaran; menerapkan kepemimpinan visioner dan situasional; melayani siswa dengan prima; melakukan perbaikan secara terus menerus; menerapkan karakteristik kepala sekolah efektif; membangun Warga Sekolah agar Pro-perubahan; membangun teamwork yang kompak; dan memberi contoh dan menginspirasi warga sekolah. BAB IV PENUTUP Kepala sekolah yang efektif harus melaksanakan sejumlah standar yang telah disampaikan sebelumnya. Selain itu, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran harus juga mampu membangun kebersamaan warga sekolahnya dan meyakinkan mereka bahwa kebersamaan inilah yang akan membawa keberhasilan sekolah, yaitu mencapai hasil belajar yang diharapkan. Kepala sekolah yang efektif juga mampu meyakinkan warga sekolahnya bahwa program-program, kegiatan-kegiatan, aturan main, dan sebagainya. yang difokuskan pada siswa dan pembelajaran akan mampu mengangkat hasil belajar siswa, baik akademik maupun non akademik. SMA Negeri 1 Sumberlawang merupakan salah satu SMA Negeri yang ada diwilayah Kabupaten Sragen Kecamatan Sumberlawang, berlokasi di Jln. Raya Solo-Purwodadi Km. 27 Sumberlawang Sragen, Kabupaten Sragen. Pada bulan September 2004 SMA Negeri 1 Sumberlawang menempati gedung baru di desa Pendem tepatnya Jln. Raya Solo-Purwodadi Km. 27 Sumberlawang Sragen, Kabupaten Sragen yang ditempati hingga sekarang, tanah yang dulu merupakan tanah bengkok carik desa Pendem. Visi yaitu berakhlak mulia berbudi pekerti luhur dan berprestasi. Misi yaitu meningkatkan mutu pendidikan yang berkualitas sesuai dengan era global perkembangan Iptek dan Imtaq; meningkatkan prestasi di bidang ekstrakurikuler sesuai dengan kebutuhan masyarakat; meningkatkan program pendidikan yang senantiasa berakar pada agama, adat istiadat, kebudayaan bangsa, berbudi luhur, beraklak mulia dan berwibawa; meningkatkan pelaksanaan pembelajaran dan bimbingan konseling kepada siswa secara efektif dan efisien sehingga memperoleh hasil yang maksimal; menumbuhkan semangat kepada seluruh warga sekolah guna meningkatkan etos belajar dan kerja; menumbuhkan penghayatan terhadap agama yang dianut dan adat istiadat, kebudayaan bangsa sehingga dapat menjadi sumber kearifan sebagai acuan dalam bersikap bertindak dan bertingkahlaku; menumbuh kembangkan upaya kewirausahaan sesuai bakat minat dan ketrampilan menuju warga sekolah yang sejahtera; mengadakan kelengkapan sarana dan prasarana fisik sekolah sehingga dapat dipakai sebagai acuan kondisi yang konduksif dan nyaman dalam kegiatan pembelajaran di sekolah; dan menghasilkan lulusan yang berprestasi, sehingga mampu bersaing pada pendidikan/perguruan tinggi dan dunia kerja. DAFTAR PUSTAKA Bernard M. Bass. 2000. The Future of Leadership in Learning Organizations. Journal of Leadership & Organizational Studies 2000; 7; 18 Daresh, John C.,Playko, Marshal A. 1995. Supervision as a Proactive Process, Waveland press. Deal, T.E. and Peterson, K.D. 1998. Shaping School Culture: The Heart of Leadership. San Fransisco, CA. Jossey Bass Publishers. F:\Mary Jo\Education Leadership Redesign Commission\Tennessee Standards for Instructional Leaders Packet.doc vlb 3/21/07 Fink, Elaine and B. Resnicl, Lauren (2003). Developing Principals as Instructional Leaders. Guston, Sandra Lee. 2002. The Instructional Leadership toolbox: A Handbook for Improving Practice. California: Sage Publication. Glatthorn, A.A.1993. OBE Reform and the Curriculum Process. Journal of Curriculum and Supervision, 8, 4, pp. 354-363 Hoyle, J.R., English, F.W., & Steffy, B.E. 199. Skills for Successful Leaders (2nd Edition). Arlington, VA. American association of School Administrators. Marquardt , Michael J. 2002. Building the Learning Organization Mastering the 5 Elements for Corporate learning. Davies-Black Publishing, Inc. Palo Alto, CA Senge Peter. 2000. A Fifth Discipline Resource Schools That Learn: A Fifth Discipline Field book for Educators, Parents, and Everyone Who Cares About Education. New York: Doubleday, h. 5-11 PRAKTIK KEPEMIMPINAN PEMBELAJARAN PADA SEKOLAH SMA DI SMA NEGERI 1 SUMBERLAWANG Diajukan kepada Prof. Bambang Sumardjoko untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah Kepemimpinan Pembelajaran Disusun Oleh: TRI WAHYUNINGTYAS Q 100130063 2B PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

tugas 3 p sumardi

tugas 2 p sumardi

A. Pengertian Evaluasi Program Pengertian evaluasi menurut Stufflebeam yang di kutip oleh Ansyar (1989) bahwa evaluasi adalah proses memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk mempertimbangkan alternatif-alternatif pengambilan keputusan. Selanjutnya The joint committee on Standars For Educational Evaluation (1994), mendefinisikan bahwa evaluasi sebagai kegiatan investigasi yang sistematis tentang keberhasilan suatu tujuan. Sedangkan Djaali, Mulyono dan Ramli (2000) mendefinisikan bahwa Evaluasi sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan standar objektif yang telah ditetapkan kemudian diambil keputusan atas obyek yang dievaluasi. Terdapat banyak model evaluasi program yang digunakan oleh ahli salah satunya adalah model cipp (context-input-process-product). Model ini dikembangkan oleh stufflebeam, model cipp ini diperkenalkan pada tahun 1971 yang melihat kepada empat dimensi yaitu dimensi context, dimensi input, dimensi process dan dimensi product. B. Program Evaluasi Model CIPP Model ini bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Menurut Stufflebeam melihat tujuan evaluasi sebagai: 1. Penetapan dan penyediaan informasi yang bermanfaat untuk menilai keputusan alternatif; 2. Membantu audience untuk menilai dan mengembangkan manfaat program pendidikan atau obyek; dan 3. Membantu pengembangan kebijakan dan program. Model evaluasi ini merupakan model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Model CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam dan kawan-kawan (1967) di Ohio State University. CIPP yang merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu Context evaluation : evaluasi terhadap konteks Input evaluation : evaluasi terhadap masukan Process evaluation : evaluasi terhadap proses Product evaluation : evaluasi terhadap hasil Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan. Dengan kata lain, model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Model Evaluasi CIPP Aspect of evaluation Type of decision Kind of question answered Context evaluation Planning decisions What should we do? Input evaluation Structuring decisions How should we do it? Process evaluation Implementing decisions Are we doing it as planned? And if not, why not? Product evaluation Recycling decisions Did it work? Sumber : The CIPP approach to evaluation (Bernadette Robinson, 2002) Empat aspek Model Evaluasi CIPP (context, input, process and output) membantu pengambil keputusan untuk menjawab empat pertanyaan dasar mengenai: 1. Apa yang harus dilakukan (What should we do?); mengumpulkan dan menganalisa needs assessment data untuk menentukan tujuan, prioritas dan sasaran. 2. Bagaimana kita melaksanakannya (How should we do it?); sumber daya dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dan mungkin meliputi identifikasi program eksternal dan material dalam mengumpulkan informasi 3. Apakah dikerjakan sesuai rencana (Are we doing it as planned?); Ini menyediakan pengambil-keputusan informasi tentang seberapa baik program diterapkan. Dengan secara terus-menerus monitoring program, pengambil-keputusan mempelajari seberapa baik pelaksanaan telah sesuai petunjuk dan rencana, konflik yang timbul, dukungan staff dan moral, kekuatan dan kelemahan material, dan permasalahan penganggaran. 4. Apakah berhasil (Did it work?); Dengan mengukur outcome dan membandingkannya pada hasil yang diharapkan, pengambil-keputusan menjadi lebih mampu memutuskan jika program harus dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan sama sekali. C. Aspek Model Evaluasi CIPP Ada beberapa aspek dalam model evaluasi CIPP sebagai berikut: 1. Evaluasi Konteks Konteks disini diartikan yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti: kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya. Evaluasi Konteks menilai kebutuhan, permasalahan, aset, dan peluang untuk membantu pembuat keputusan menetapkan tujuan dan prioritas serta membantu stakeholder menilai tujuan, prioritas, dan hasil. Menurut Sarah McCann dalam Arikunto (2004) evaluasi konteks meliputi penggambaran latar belakang program yang dievaluasi, memberikan tujuan program dan analisis kebutuhan dari suatu sistem, menentukan sasaran program, dan menentukan sejauhmana tawaran ini cukup responsif terhadap kebutuhan yang sudah diidentifikasi. Penilaian konteks dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apakah tujuan yang ingin dicapai, yang telah dirumuskan dalam program benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat?” Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan program. Evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. 2. Evaluasi Masukan (Input) Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi masukan. Tujuan utama evaluasi ini adalah untuk mengaitkan tujuan, konteks, input, proses dengan hasil program. Evaluasi ini juga untuk menentukan kesesuaian lingkungan dalam membantu pencapaian tujuan dan objectif program. Disamping itu, evaluasi ini dibuat untuk memperbaiki program bukan untuk membuktikan suatu kebenaran (The purpose of evaluation is not to prove but to Improve, Stufflebeam, 1997 dalam Arikunto 2004). Model evaluasi CIPP digunakan untuk mengukur, menterjemahkan dan mengesahkan perjalanan suatu program, dimana kekuatan dan kelemahan program dikenali. Kekuatan dan kelemahan program ini meliputi institusi, program itu sendiri, sasaran populasi/ individu.Model evaluasi ini meliputi kegiatan pendeskripsian masukan dan sumberdaya program, perkiraan untung rugi, dan melihat alternatif prosedur dan strategi apa yang perlu disarankan dan dipertimbangkan (Guba & Stufflebeam, 1970). Singkatnya, input merupakan model yang digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan sumberdaya yang ada bisa mencapai tujuan serta secara esensial memberikan informasi tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau tidak. Aspek input juga membantu menentukan prosedur dan desain untuk mengimplementasikan program Evaluasi ini menolong mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Menurut Stufflebeam pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengarah pada "pemecahan masalah" yang mendorong diselenggarakannya progran yang bersangkutan. Misalnya pada evaluasi kurikulum, pertanyaan yang diajukan antara lain: a. Apakah proses metode belajar mengajar yang diberikan memberikan dampak jelas pada perkembangan peserta didik? b. Bagaimana reaksi peserta didik terhadap metode pembelajaran yang diberikan? 3. Evaluasi Proses Evaluasi proses dalam model CIPP diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada "apa" (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, "siapa" (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, "kapan" (when) kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Oleh Stufflebeam(dalam Arikunto, 2004), mengusulkan pertanyaan untuk proses antara lain sebagai berikut: a. Apakah pelaksanaan program sesuai dengan jadwal. b. Apakah yang terlibat dalam pelaksanaan program akan sanggup menangani kegiatan selama program berlangsung? c. Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal? d. Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program? 4. Evaluasi pada produk atau hasil Evaluasi produk diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan antara lain: a. Apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai? b. Apakah kebutuhan peserta didik sudah dapat dipenuhi selama proses belajar mengajar? D. Kelebihan dan Kelemahan Model CIPP Seperti layaknya suatu pendekatan dalam ilmu social, cipp memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan: 1. Keunggulan model cipp Cipp memiliki pendekatan yang holistik dalam evaluasi, bertujuan memberikan gambaran yang sangat detail dan luas terhadap suatu proyek, mulai dari konteksnya hingga saat proses implementasi. Cipp memiliki potensi untuk bergerak di wilayah evaluasiformative dan summative. Sehingga sama baiknya dalam membantu melakukan perbaikan selama program berjalan, maupun memberikan informasi final. 2. Kelemahan model cipp Terlalu mementingkan bagaimana proses seharusnya daripada kenyataan di lapangan, kesannya terlalu top down dengan sifat manajerial dalam pendekatannya, dan cenderung fokus pada rational management ketimbang mengakui kompleksitas realitas empiris. E. KESIMPULAN Evaluasi produk merupakan evalusi terakhir dari model evaluasi CIPP. Evaluasi produk merupakan evaluasi yang bertujuan untukn mengukur, menginterpretasikan, dan menilai pencapain program (tifflebeam & Shienfield, 1985:176). Evaluasi produk dapat dilakukan dengan membuat definisi operasional dengan mengukur kriteria objektif, melalui pengumpulan penilaian dari stakeholder, dengan unjuk kerja (performing) baik dengan mengunakan analisis kuantitatif atau kualitatif (Trotter et.al., 1998:136). DAFTAR PUSTAKA Arifin, Suharsimi.dkk. 2010. Evaluasi Program Pendidikan Jakarta:Bumi Aksara. Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran.Bandung:Remaja Rosdokarya. Nasution, S. 1994. Dasar-dasar Kurikulum. Bandung: Angkasa. MAKALAH EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN DENGAN MODEL EVALUASI CONTEXT, INPUT, PROCESS, AND PRODUCT (CIPP) MAKALAH Mata Kuliah: Evaluasi Sistem Pendidikan Dosen: Dr. Sumardi, M. Si Disusun Oleh: TRI WAHYUNINGTYAS Q 100130063 PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

tugas p sumardi

A. LATAR BELAKANG Pada perkembangan zaman sekarang ini, bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa internasional. Setiap orang diharapkan memiliki kemampuan untuk mengerti atau memahami bagaimana penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang dituntut untuk memahami atau mengerti bahasa Inggris tidak hanya orang dewasa tapi juga anak-anak dan remaja. Anak-anak pra sekolah maupun pendidikan dasar, diharapkan telah diperkenalkan dengan bahasa inggris agar kelak mereka mahir dan memahami bahasa Inggris. Dalam PP RI No.27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa salah satu bentuk pendidikan pra sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar. (Ningsih: 2008) dalam skripsinya menuliskan bahwa (mengertikan bahwa taman kanak-kanak merupakan tempat untuk pembinaan proses perkembangan anak usia empat sampai enam tahun. Salah satu contohnya ketika orang tua mengucapkan sesuatu, sianak akan cepat menirukan apa yang dilakukan orang tuanya itu. Ketidaktahuan anak itu sesuatu yang sangat wajar dikarenakan anak belum mengerti arti semua itu. Oleh karena itu, peran orang tua sangat menentukan dalam mencapai keberhasilan anak tersebut. Selain itu di zaman modern ini tuntutan untuk bisa mahir dalam bahasa inggris sangat ditekankan dalam dunia kerja. Untuk itu kami dari ESSC sengaja memberikan terobosan baru yang mudah untuk memiliki kemampuan dalam meningkatkan kemampuan dalam berbahasa inggris. Melihat bahasa Inggris sekarang ini yang semakin susah dipelajari dan dipahami, setiap siswa–siswi SMP/SMA/Sederajat/masyarakat umum diharuskan untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris yang baik dan benar. Berkomunikasi dengan Bapak/ Ibu Guru, teman, dan tourist menggunakan bahasa Inggris. Berkomunikasi ini supaya kita dapat mahir berbicara dan menulis bahasa Inggris dengan siapapun. Sekarang ini bahasa Inggris dijadikan tolak ukur untuk berkomunikasi dengan baik dan benar oleh setiap siswa-siswi/masyarakat. Oleh karena itu, setiap siswa-siswi/masyarakat menggunakan berbicara dan menulis bahasa Inggris kepada tourist/siapapun yang berkunjung dimanapun terutama di SMP/SMA/Sederajat/masyarakat. Bukan hanya menulis saja namun juga berbicara bahasa Inggris sering dilakukan apabila siapapun berkunjung di tempat ini. Agar siswa-siswi/masyarakat tersebut terbiasa dengan berbicara dan menulis bahasa Inggris. Pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak atau masyarakat pada akhir-akhir ini bagi para orang tua maupun guru telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan terutama di daerah perkotaan, karena itu perlu ditanggapi secara positif. Banyak orang tua yang mulai memikirkan akan pentingnya hal tersebut sehingga banyak upaya yang telah mereka tempuh, misalnya dengan mendatangkan guru privat, menyekolahkan putra-putrinya ke lembaga-lembaga kursus atau berupaya menyekolahkan ke sekolah-sekolah dasar yang telah mengajarkan Bahasa Inggris. Sebagian sekolah-sekolah dasar, bahkan ada taman kanak-kanak telah mendatangkan guru bidang studi Bahasa Inggris untuk mengajar anak didiknya. Usaha-usaha tersebut tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit dan hanya orang tua maupun sekolah-sekolah tertentu yang mampu melakukannya. Oleh karena itu kiranya perlu adanya semacam rambu-rambu penentuan materi pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak / masyarakat serta teknik pengembangannya yang dapat dijadikan acuan bagi guru atau orang tua siswa yang ingin mengajarkan Bahasa Inggris bagi siswa atau putra-putrinya sendiri tanpa harus mendatangkan pengajar ke sekolah atau ke rumah, cukup dilakukan oleh guru kelas atau orang tua jika di rumah. Dalam kurikulum muatan lokal Sekolah Dasar, Bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran alternative yang dapat diajarkan di Sekolah Dasar yang sekarang mulai diajarkan dari kelas satu sampai kelas enam. Materi pembelajaran dalam kurikulum tersebut telah diuraikan secara rinci meliputi lafal, kosakata tulisan, bacaan dan keterampilan fungsional sebagai dasar untuk mendapatkan keterampilan berbahasa sederhana sesuai dengan topik yang dekat dengan siswa. Sehingga kurikulum tersebut dapat dijadikan acuan dalam menentukan materi apa yang seharusnya mulai dapat diajarkan pada anak-anak. Guru maupun orang tua yang menghendaki memperkenalkan Bahasa Inggris pada anak sejak dini dapat meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan anak dalam berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional. Dengan demikian Bahasa Inggris dapat memungkinkan diajarkan pada level-level sebelum anak-anak memasuki sekolah dasar. Apabila Bahasa Inggris menjadi pilihan yang hendak diajarkan pada anak-anak, maka sebelum melaksanakan pembelajaran Bahasa Inggris, guru atau orang tua siswa perlu mempersiapkan diri mengingat pembelajaran Bahasa Inggris bagi anak-anak merupakan hal baru bagi mereka. Persiapan yang perlu dilakukan antara lain dengan mempersiapkan penguasaan materi pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak baik dari segi ucapan atau lafal, kosakata tulisan Inggris dan keterampilan fungsional. Serta materi yang telah ditentukan masih perlu dikembangkan penyajian materinya agar anak-anak dalam menerima pembelajaran bahasa Inggris mudah mengerti dan tidak mengalami kebosanan. Sehingga menghasilkan pembelajaran yang lebih komulatif. Dan disamping itu tentu saja masih perlu bekal pengetahuan tentang teknik dan strategi pembelajaran Bahasa Inggris bagi anak-anak agar siswa termotivasi dan merasa senang belajar Bahasa Inggris. Mengingat hal di atas, maka dalam proposal yang sederhana ini penulis mencoba memaparkan tentang pengertian, fungsi dan tujuan pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak, materi pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak (English for children) atau masyarakat yang diambil dari berbagai sumber baik kurikulum muatan lokal maupun buku-buku pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak serta teknik pengembangan materi pembelajaran agar pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak bersifat menyenangkan, membangkitkan motivasi anak-anak untuk senang belajar Bahasa Inggris dan menciptakan pembelajaran yang komulatif. English Smart Solution Course (ESSC) adalah suatu lembaga bahasa Inggris baik kursus kelompok maupun privat dalam rangka untuk memajukan, mencerdaskan, dan mengatasi berbicara bahasa Inggris di lingkungan sekitar. Untuk mendalami conversation and writing bahasa Inggris, kami juga menyediakan bimbingan belajar yang bersifat kelompok maupun privat. Untuk itu kami dari English Smart Solution Course (ESSC) hadir untuk membantu anak-anak tersebut dalam belajar untuk menguasai bahasa Inggris dengan baik. Dengan program ESSC yang kami tawarkan ,belajar bahasa Inggris menjadi lebih menarik sehingga anak-anak tidak akan merasa bosan. Disini mereka belajar bahasa Inggris dengan berbagai macam metode dan media pembelajaran yang menarik. B. NAMA PROGRAM Adapun nama program yang kami tawarkan kursus privat dan kelompok bahasa Inggris adalah “English Smart Solution Course”. Alasan kami ingin menyajikan pelajaran Bahasa Inggris dengan ringan dan menyenangkan. Mengingat sasaran program kami adalah anak Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama atau sederajat, Mahasiswa dan Masyarakat Umum. Visi ESSC yaitu menjadikan ESSC sebagai lembaga perkursusan bahasa Inggris yang terbaik dan terpercaya serta menyenangkan. Misi ESSC yaitu memberikan pelayanan jasa pembiayaan yang mudah, murah dan ramah dengan prinsip kekeluargaan, kepercayaan, dan kejujuran. Motto ESSC yaitu Mencerdaskan Peserta Bersama Kami. C. TUJUAN Tujuan utama pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak atau masyarakat adalah untuk memotivasi dan mendorong anak-anak agar lebih siap dan percaya diri dalam mempelajari Bahasa Inggris. Mengingat sasaran utama pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak atau masyarakat adalah untuk memotivasi dan mendorong siswa atau masyarakat senang belajar, maka sifat pengajarnya hendaknya diusahakan agar menyenangkan anak atau masyarakat akan motivasi dan terdorong untuk menyenangi belajar Bahasa Inggris. Melatih berbicara dan menulis bahasa Inggris dengan baik dan benar. Memajukan conversation bahasa Inggris dengan lancar. Menambah vocabulary sebelum berbicara bahasa Inggris. Mengenalkan bahasa Inggris kepada anak, Meningkatkan kemampuan anak berbahasa Inggris., Memberikan motivasi kepada anak agar mampu berkreasi dan berprestasi dalam bidang bahasa Inggris, Menyalurkan minat dan bakat anak dalam berbahasa khususnya bahasa Inggris dan Meningkatkan kualitas SDM dengan menguasai Bahasa Inggris. D. MANFAAT Manfaat utama pembelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak atau masyarakat adalah dapat berbicara dan menulis bahasa Inggris dengan baik dan benar, dapat maju dengan lancar dalam skill conversation dan writing bahasa Inggris, dapat memperkenalkan bahasa Inggris kepada anak-anak atau masyarakat, serta dapat mengatasi bisnis dengan mudah dalam skill berbicara dan menulis bahasa Inggris dengan tourist yang datang di tempat ini. Anak-anak mengetahui atau memahami bahasa Inggris, memunculkan motifasi yang tinggi bagi anak-anak untuk berkreasi dan berprestasi, memunculkan kesadaran untuk mengupdate diri dalam bidang bahasa Inggris, secara praktis memberi masukan penting dalam meningkatkan mutu pendidikan, khususnya dalam kegiatan belajar mengajar, dan meningkatkan kwalitas SDM. E. RINCIAN PROGRAM Program tersebut akan dilaksanakan secara privat atau berkelompok sesuai anak-anak atau masyarakat dengan menyesuaikan jadwal mereka dan pengajarnya untuk kursus bahasa Inggris. F. BIAYA a. Biaya anggota Modal awal Bimbingan belajar English Smart Solution Course Iuran masing – masing anggota @ Rp 20.000,00 X 10 = Rp 200.000,00 b. Pengeluaran Stempel = Rp 25.000,00 Print dan pembuatan brosur = Rp 31.000,00 Transportasi = Rp 13.100,00 Print = Rp 5.000,00 Biaya pembuataan poster = Rp 60.000,00 Biaya pembuatan brosur = Rp 100.000,00 Stopmap dan fotokopi = Rp 6.400,00 Bantalan tinta = Rp 4.000,00 Print proposal dan stomap =Rp 50.000,00 Sisa kas ESSC =Rp 5.000,00 G. WAKTU PELAKSANAAN Hari pelaksanaan Bimbingan Belajar English Smart Solution Course ini menggunakan sistem private untuk siswa Sekolah Dasar, SMP atau sederajat, Mahasiswa, dan Masyarakat Umum maka jadwal yang kami tawarkan merupakan kesepakatan antara siswa atau orang tua dengan para tutor. Tetapi disini kami menawarkan pembagian waktunya, antara lain: 60 menit : 14.30-15.30 15.30-16.30 16.00-17.00 Nb: jam sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan kesepakatan bersama yang telah dibuat sebelumnya. H. BIAYA BIMBINGAN BELAJAR Biaya pendaftaran sebesar  Untuk siswa SD, SMP 60 Menit Rp 25.000,00/pertemuan. Untuk privat: Kelas 1 SD ada 1 orang: 8xpertemuan =Rp 200.000,00 Kelas 4 SD ada 1 orang: 8xpertemuan =Rp 200.000,00 Kelas 7 SMP ada 4 orang. I orang: 4xpertemuan/bulan=Rp 100.000,00/bulan x 4 bulan= Rp 400.000,00 3orang:3xpertemuan=3xRp25.000=Rp 75.000,00 x 3 orang=Rp 225.000,00 Untuk regular: 60 menit @Rp 20.000,00/pertemuan Kelas 5 SD 1 orang: 8xpertemuan/bulan x Rp 20.000,00=Rp 160.000,00/bulan x 3 bulan=Rp 480.000,00 Kelas 6 SD 2 orang: 8xpertemuan/bulan=Rp 100.000,00/bulan x 3 bulan= Rp 300.000,00 @ 1 orang. Kelas 8 SMP 1 orang: 8xpertemuan/bulan x Rp 20.000,00=Rp 160.000,00 /bulan x 3 bulan=Rp 480.000,00  Untuk Masyarakat Umum 60 Menit harganya Rp 25.000,00 / pertemuan Kecamatan 2 orang: 1xpertemuan=1xRp 10.000,00=Rp 10.000,00x2=Rp 20.000,00 Dipenduk capil 1 orang: 2xpertemuan=2xRp 10.000,00=Rp 20.000,00 Kios lala PGS 1 orang: 2xpertemuan=2xRp 5.000,00=Rp 10.000,00 Kios bu ending 1 orang: 2xpertemuan=2xRp 5.000,00=Rp 10.000,00 Umum tanpa proposal 1 orang: 2xpertemuan=2xRp 5.000,00=Rp 10.000,00 NB: Biaya sesuai dengan kesepakatan antara lembaga dengan peserta didik. I. RINCIAN PROGRAM English Smart Solution Course merupakan lembaga bimbingan belajar yang menyediakan sistem private class atau kelompok class maka program yang kita tawarkan dalam lembaga ini mengenai materi pembelajaran yang akan diajarkan yaitu berdasarkan kesulitan yang dihadapi siswa khususnya dalam pembelajaran bahasa Inggris dan sesuai dengan materi yang diajarkan disekolah. Hal ini bertujuan agar siswa atau masyarakat mampu menyeimbangkan materi pembelajaran bahasa Inggris yang diberikan di sekolah maupun di lembaga bimbingan belajar. Selain itu, agar kesulitan pembelajaran bahasa Inggris yang dihadapi siswa disekolah atau masyarakat dapat dipecahkan dengan lebih santai dan lebih jelas melalui para tutor English Smart Solution Course. J. STRUKTUR ORGANISASI “ENGLISH SMART SOLUTION COURSE” Ketua : Tri Wahyuningtyas Wakil Ketua : Nurul Rahmayani Sekretaris : Yanita Utaminingsih Bendahara : 1. Esti Nur P 2. Maya Ruhil A Humas : Ika Ida Wijayanti Design : Mei Tri Utami Perlengkapan : 1. Fahmawati Isnita R 2. Nurindah R 3. Fitra Ratna J K. KEDALA-KENDALA YANG DIHADAPI Ada beberapa kendala-kendala yang dihadapi dalam mengevaluasi system pendidikan di lembaga perkursusan bahasa Inggris di ESSC yaitu 1. Kurangnya disiplin bekerja. 2. Fasilitas sarana dan prasarana proses pembelajaran kurang memadai. 3. Kurangnya kecakapan komunikasi antara tentor yang satu dengan tentor yang lain dan peserta didik dengan tentor. 4. Rasa tanggung jawab yang kurang. 5. Rendahnya kesejahteraan semua tentor. L. SOLUSI UNTUK MENGEVALUASI KENDALA-KENDALA Ada beberapa solusi untuk mengevaluasi kendala-kendala yang dihadapi di lembaga perkursusan bahasa Inggris ESSC yaitu 1. Membuat jadwal yang sesuai dengan tentor dan peserta didik. 2. Membuat peraturan antara tentor dan peserta didik. 3. Memperbaiki, menambah, dan melengkapi fasilitas sarana dan prasarana untuk menunjang proses pembelajaran di ESSC. 4. Memperbaiki kecakapan komunikasi antara tentor dan tentor, serta peserta didik dan tentor dengan cara meeting atau cara face to face di tempat kerja atau di luar tempat kerja. 5. Melaksanakan tanggung jawab sesuai tugas dan peran masing-masing yang sudah diberikan oleh LPK dengan sebaik-baiknya. 6. Memperbaiki kesejahteraan semua tentor. M. KESIMPULAN Nama program yang kami tawarkan kursus privat dan kelompok bahasa Inggris adalah “English Smart Solution Course” (ESSC). ESSC ini mengadakan kursus privat dan kelompok (regular) baik untuk peserta didik sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan masyarakat umum yang mana harga kursusnya relative terjangkau untuk kalangan tersebut. Sehingga ESSC mengalami kendala-kendala yang dihadapi baik tentor dan peserta didik. Dan pada akhirnya kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan beberapa solusi dengan cara kekeluargaan antara tentor dan peserta didik. PROGRAM PENGELOLAAN LEMBAGA PERKURSUSAN ENGLISH SMART SOLUTION COURSE (ESSC) MAKALAH Mata Kuliah: Evaluasi Sistem Pendidikan Dosen: Dr. Sumardi, M. Si Disusun Oleh: TRI WAHYUNINGTYAS Q 100130063 PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

sosiologi pendidikan

CHAPTER I INTRODUCTION A. Background of The Study According to Charles A. Ellwood in Subadi (2009: 64), education sociology is the science which aims to reveal the connections at all points between the educative process and social process. The sociology of education is the study of educational structures, processes, and practices from a sociological perspective. This means that the theories, methods, and the appropriate sociological questions are used to better understand the relationship between educational institutions and society, both at the micro and macro levels. The sociology of education is dominated by tension between those who regard it as a science and those who see it as an applied and policy-related discipline, and the tension is between the empirical and the normative, which is between the study of education scientifically as it is and the study of it in terms of what it ought to be. In the early history of the sociology of education, this distinction was sometimes reflected in the name used to describe the discipline. Those who saw the discipline as an objective science used the label “sociology of education,” and those who saw it in policy and reform terms used the label “educational sociology.” (Saha, 2008: 300) B. Problem Statement The problem statements of the study are as follows: How 1. Is historical sociology of education? 2. Are theoretical perspectives of structural functionalism? 3. Are theoretical perspectives of education and social reproduction? 4. Is sociology of education in Indonesia? 5. Are sociological research phenomenology and ethnography methods? C. Objective of The Study The objectives of the study are the following: To analyze 1. Historical sociology of education. 2. Theoretical perspectives of structural functionalism. 3. Theoretical perspectives of education and social reproduction. 4. Sociology of education in Indonesia. 5. Sociological research phenomenology and ethnography methods. D. Benefit of The Study The two benefits can be gained as follows: 1. Theoretical Benefit The study is projected to give contribution and information to the larger body of knowledge, an academic reference by other researchers to conduct the research, and particularly in the sociology of education studies in Indonesia. 2. Practical Benefit The study is expected to enrich the knowledge and experience of the writer and other students at Muhammadiyah University of Surakarta or other universities who interested in the sociology of education studies. CHAPTER II UNDERLYING THEORY A. Historical Sociology of Education Modern sociology was born out of the Industrial Revolution and the increasing awareness of radical shifts in the social structure of society, in particular in Europe and England. But it was during this period that education as we know it was also expanding, so that in a way, industrialization and educational expansion went hand in hand. Education did enter into the writings of the early classical sociologists, although not always in well thought-out forms. Karl Marx (1818–1883) never fully developed or integrated education into his theory of capitalism and social class. But he and Fredrick Engels did refer to education frequently in their writings about the class struggle. They advocated education for all, but they were primarily concerned with the type of education that was given to the children of the working classes and how this education served the interests of the ruling class, the bourgeoisie, in maintaining their social dominance. Although Marx did not focus directly on education in his theory of society, his ideas have formed the base of what later would become known as neo-Marxist sociology of education. This perspective is very much related to forms of reproduction theory, in which education is thought to serve as a mechanism for reproducing the class structure of society, there by reproducing the privileges of the dominant class. Max Weber (1864–1920) is not normally regarded for his focus on education in his early sociological writings. Nevertheless, his theory of social structure and the interplay between social class, social status, and power did acknowledge the importance of the mechanisms through which one social group could maintain its position in society. Credentials that reflected the possession of knowledge were one way in which individuals could make a legitimate claim for membership in particular class, status, or power groups. It follows implicitly that education, as a mechanism for the development and transmission of knowledge, is an important social institution in this stratification process. The notion of education as a source of knowledge and its manifestation in educational credentials was also important in Weber’s notion of bureaucracy and the increasing rationality of society. Weber believed that European society was developing a new kind of organization as forms of societal authority changed from traditional structures (for example, a monarchy) to rational structures (an elected Parliament). He thought this shift permeated the economic facets of society and particularly society’s productive sectors. Industry and manufacturing gradually shifted from domestic and cottage production to factory production and this required a new form of organizational structure called “the bureaucracy,” or a type of hierarchical authority structure based on rational and legal rules. For Weber, the bureaucracy represented “the purest type of legal authority,” and the concept has since become the foundation for sociological studies of organizations in modern society. Weber’s ideas have had a major effect on studies of the social organization of schools, and within them, the roles of principal and teachers and the hierarchical relationships between them. The study of teachers as professionals and B. Theoretical Perspectives Structural Functionalism This theoretical orientation views society as a complex interconnected system of parts that work together in harmony. “… This approach points to the importance of social structure, any relatively stable pattern of social behavior. Secondly, this approach looks for any structure’s social function, the consequences of any social pattern for the operation of society as a whole” (Macionis 2006: 12-13). Structural Functionalists approach society from a macro-level perspective; they view society and its pieces as a whole. Major sociological theorists or contributors to this theoretical approach include: Auguste Comte (considered the founder of sociology); Emile Durkheim; Herbert Spencer; Talcott Parsons; and Robert Merton. C. Theoretical Perspectives Education and Social Reproduction The concept of intelligence is rooted in entrenched cultural models and has significant effects on individuals through their implicit theories about themselves, others and the world (Kunda, 1999; Malle, 2004). When regarding the concept of intelligence, one notion is that children at school learn about intelligence as a way of determining who will be fit for intellectual labour in contrast to those who won’t (Beach, 1999, 2001). These sorting processes seem to be systematically related to social class (Ostrove & Cole, 2003; Beach & Dovemark, 2009). As Parker (2007) states, capitalist society is still (globally) dependent on an economic underclass for symbolic and economic exploitation. Moreover, this underclass still comprises the majority of the global population and schools are significant institutions in relation to the discursive construction, ideological justification, normalisation and social reproduction of this class (Beach & Dovemark, 2005, 2007, 2009). This applies even in a society like Sweden, which presents itself to others and even to itself as middle class, as if the under-class of workers were just an unfortunate minority. There is a contradiction between the image of a middle class society for everyone, in the current Swedish conception of it, and the reality of a working class society without stable work for many people who are then also forced to live out naïve beliefs about what is wrong with them. Teachers and schools play an important role as the makers and mediators of judgments about intellectual achievement. According to Ahmavaara and Houston (2007), Gould (1996) and Pramling and Saljo (2007) these judgements rest on a foundation of specific scientific theories of intelligence such as for example Spearman’s (1904) scientific theory of intelligence, the two-factor theory or the more recent Cattell-Horn-Carrol (CHC) theory, one of several variants of g-factor theory (Ackerman & Lohman, 2006 and for an elaborated discussion of the two-factors/one-factor model see for example Sternberg, 2004). These theories are important in that they explicitly state that intelligence is naturally inborn and in essence a more or less unchangeable entity that you either have or do not have. They make the assumption of a natural ability amongst children as something that is understood as fixed, unevenly distributed among the population, difficult in itself to influence and continually operational in classrooms as the key factor that lies behind differential and differentiating educational performances in schools today (Beach, 1999, 2001, 2003). This way of sorting children in school forces each child to live its failures, as something from which they are alienated‟, as something, deep within themselves‟ and as something which they can neither comprehend nor escape from (Parker, 2007, p. 3). The school as an institution plays an important role today in the constitution of this class. First in a selection process by means of which the people that make it up are judged as incapable of intellectual achievement and categorised to perform manual labour in a majority middle class society. Secondly through the projection of a dominant ideology about how the differences that are seen can be made sense of and understood in a manner that does not destabilise the foundations for the existing social order. The role of the school in the creation, justification and reproduction of social class involves, indeed relies upon, teachers acting as intermediaries and mediators of distinct social values that are communicated to pupils, about life, learning, knowledge, intelligence, themselves and their abilities and capabilities (Beach, 1999, 2001; Beach & Dovemark, 2005). D. Sociology of Education in Indonesia E. Sociological Research Methods CHAPTER III CLOSURE According to Charles A. Ellwood in Subadi (2009: 64), education sociology is the science which aims to reveal the connections at all points between the educative process and social process. This theoretical orientation views society as a complex interconnected system of parts that work together in harmony. “… This approach points to the importance of social structure, any relatively stable pattern of social behavior. Secondly, this approach looks for any structure’s social function, the consequences of any social pattern for the operation of society as a whole” (Macionis 2006: 12-13). Structural Functionalists approach society from a macro-level perspective; they view society and its pieces as a whole. Moreover, this underclass still comprises the majority of the global population and schools are significant institutions in relation to the discursive construction, ideological justification, normalisation and social reproduction of this class (Beach & Dovemark, 2005, 2007, 2009). This applies even in a society like Sweden, which presents itself to others and even to itself as middle class, as if the under-class of workers were just an unfortunate minority. There is a contradiction between the image of a middle class society for everyone, in the current Swedish conception of it, and the reality of a working class society without stable work for many people who are then also forced to live out naïve beliefs about what is wrong with them. Teachers and schools play an important role as the makers and mediators of judgments about intellectual achievement. The role of the school in the creation, justification and reproduction of social class involves, indeed relies upon, teachers acting as intermediaries and mediators of distinct social values that are communicated to pupils, about life, learning, knowledge, intelligence, themselves and their abilities and capabilities (Beach, 1999, 2001; Beach & Dovemark, 2005). BIBLIOGRAPHY Ackerman, P. L., & Lohman, D. F. 2006. Individual differences in cognitive functions (pp. 139-161). In P.A. Alexander & P.H. Winne (Eds.), Handbook of educational psychology. London: LEA. Ahmavaara, A., & Houston, D. 2007. The effects of selective schooling and self-concept on adolescents‟ academic aspiration: An examination of Dweck‟s self-theory. British Journal of Educational Psychology, 77, 613-632. Beach, D. 1999. Alienation and fetish in science education. Scandinavian Journal of Education Research, 43(2), 157-172. Beach, D. 2001. Alienation, reproduction and fetish in Swedish education. In G. Walford (Ed) Ethnography and Education Plicy. (Studies in Education Ethnography Volume 4). New York: Elsevier. Beach, D. 2003. Mathematics goes to market. In D. Beach, T. Gordon, & E. Lahelma (Eds.), Democratic Education: Ethnographic Challenges. London: Tufnell Press. Gould, S. J. 1996. The mismeasure of man. London: W. W. Norton & Company Ltd. Kunda, Z. 1999. Social cognition: Making sense of people. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Malle, B. F. 2004. How the mind explains behaviour: Folk explanations, meaning, and social interaction. Cambridge: The MIT Press. Ostrove, J. M. & Cole, E. R. 2003. Privileging class: Toward a critical psychology of social class in the context of education. Journal of Social Issues, 59 (4), 677-692. Parker, I. 2007. Revolution in psychology Alienation to emancipation. London: Pluto Press Pramling, N., & Saljo, R. 2007. Scientific knowledge, popularization, and the use of metaphors: Modern genetics in popular science magazines. Scandinavian Journal of Educational Research, 51 (3), 275-295. Spearman, C. 1904. “General intelligence”, objectively determined and measured. American Journal of Psychology, 15, 201-293. Sternberg, J. R. 2004. International handbook of intelligence. New York: Cambridge University Press. Subadi, Tjipto. 2009. Sosiologi dan Sosiologi Pendidikan Suatu Kajian Boro dari Perspektif Sosiologis Fenomenologis. Solo: Fairuz Media Duta Pertama Ilmu. Macionis, John J. 2006. Society: The Basics, Eighth Edition. Upper Saddle River, NJ: Pearson/Prentice Hall.